Catatanaksara.my.id - Ada sesuatu yang magis ketika matahari mulai merunduk di balik pepohonan. Cahaya jingga menembus sela-sela daun, menciptakan bayangan yang menari di antara batang-batang hutan. Saat itu, waktu seolah melambat. Angin membawa aroma tanah basah dan daun kering, seakan hutan sedang bernapas pelan — mengajarkan kita arti ketenangan yang sesungguhnya.
Di tengah kesibukan hidup modern, kita sering lupa bagaimana rasanya diam. Lupa bagaimana suara jangkrik bisa terdengar seperti lagu pengantar pulang. Lupa bahwa langit senja tak hanya indah untuk difoto, tapi juga untuk direnungi.
Ketika kita berdiri di tengah hutan dan memandangi langit yang berubah warna, sebenarnya alam sedang berbicara. Ia tidak berteriak, tidak menuntut, hanya mengingatkan — bahwa manusia bukan pusat dari segalanya. Kita hanyalah bagian kecil dari ciptaan yang luas, dan pada akhirnya, semua akan kembali ke asalnya: tanah, sunyi, dan kedamaian.
Bagi sebagian orang, pulang adalah rumah dengan lampu yang menyala. Tapi bagi jiwa yang penat, pulang bisa berarti kembali ke alam, ke tempat di mana hati bisa beristirahat tanpa sinyal, tanpa notifikasi, tanpa peran sosial. Hanya ada diri sendiri, hutan, dan senja yang perlahan menghapus batas antara siang dan malam.
Dan di detik itu, ketika cahaya terakhir tenggelam di balik pepohonan, kita sadar — mungkin inilah yang selama ini kita cari. Bukan tempat baru, tapi rasa lama yang hilang: tenang, damai, dan penuh makna.


0 Komentar