Politik Itu Keniscayaan
Dalam sebuah materi bertajuk “Mengapa Harus Berpolitik?”, ditegaskan bahwa politik bukan sekadar urusan para elit. “Siapa yang menguasai politik, dia yang mengatur; sebaliknya siapa yang tidak menguasai politik, dia akan diatur,” bunyi salah satu kutipan dalam materi tersebut.
Pandangan ini mengingatkan bahwa menjauhi politik sama artinya dengan menyerahkan masa depan pada orang lain. Kesadaran politik masyarakat menjadi kunci agar arah kebijakan negara benar-benar berpihak pada rakyat.
Dari Politik “Wani Piro” ke Politik Bermaslahat
Sayangnya, dalam praktiknya, politik di Indonesia sering direduksi menjadi sekadar “wani piro” — simbol politik transaksional yang menukar suara dengan uang. Politik hanya ramai saat pemilu, lalu sepi ketika masa jabatan dimulai. Padahal, justru setelah coblosanlah politik sesungguhnya dimulai, ketika keputusan-keputusan strategis diambil untuk lima tahun ke depan.
Fenomena “politik pesugihan” membuat kekuasaan kehilangan nilai pengabdian. Rakyat semakin jauh dari kesejahteraan, sementara para elit terjebak dalam kasus pidana, disorientasi moral, hingga keretakan keluarga. Ketimpangan sosial pun makin menganga — yang kaya makin kaya, yang miskin makin tertinggal.
Peringatan Imam Al-Ghazali
Materi ini juga mengutip nasihat klasik dari Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin:
“Kerusakan rakyat disebabkan oleh rusaknya para penguasa; rusaknya para penguasa disebabkan oleh rusaknya para ulama; dan rusaknya para ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan.”
Pesan ini mengingatkan bahwa penyakit cinta dunia dapat merusak sendi-sendi moral bangsa. Ketika kekuasaan dijalankan tanpa nilai agama, maka kebijakan kehilangan arah dan rakyat menjadi korban.
Politik dan Agama: Dua Sisi Mata Uang
Dalam perspektif Islam, politik dan agama tidak boleh dipisahkan. “Agama adalah fondasi, kekuasaan adalah penjaganya,” demikian pandangan klasik yang dikutip dalam materi tersebut. Politik yang benar harus berlandaskan nilai-nilai agama agar mampu melahirkan kebijakan yang adil, beretika, dan berpihak pada kemaslahatan.
Dengan cara pandang ini, politik bukan lagi ajang perebutan kekuasaan, melainkan sarana (wasilah) untuk menyelesaikan masalah dan mewujudkan keadilan sosial. Orientasinya bukan pada kekayaan dan jabatan, melainkan pada kemanfaatan dan kemaslahatan umat.
Menjadikan Politik Sebagai Ibadah
Cita-cita tertinggi dari politik yang benar adalah menjadikannya sebagai ibadah. Jabatan hanyalah alat untuk mengabdi, bukan tujuan utama. Ketika politik dijalankan dengan nilai-nilai moral, ia menjadi jalan pengabdian untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Sebagaimana ditegaskan oleh Gus Muhaimin Iskandar, politik harus dipahami sebagai jalan perjuangan, bukan pesugihan.
“Politik bukan tentang siapa yang paling kaya, tapi siapa yang paling peduli,” ujarnya dalam banyak kesempatan.
Dengan menanamkan kesadaran ini, politik tidak lagi menjadi jalan buntu, melainkan jembatan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan bermartabat.
0 Komentar