Catatanaksara.my.id - Ada masa ketika politik bicara tentang cita-cita, tentang arah bangsa, tentang manusia yang ingin hidup lebih baik. Tapi kini, politik lebih sering bicara tentang siapa yang menang, bukan apa yang benar. Tentang siapa yang lebih kuat, bukan siapa yang lebih peduli.
Dan di tengah hiruk-pikuk itu, manusia perlahan menjadi angka — data elektoral, bukan lagi wajah yang punya cerita.
Kita sering lupa bahwa di balik setiap suara, ada kehidupan. Ada ibu yang bangun pagi-pagi menanak nasi sambil berharap harga sembako tak naik. Ada anak muda yang bingung mencari kerja, tapi tetap percaya bahwa negeri ini masih punya harapan. Ada nelayan, petani, buruh, dan pegawai kecil — yang semuanya percaya bahwa memilih adalah cara mereka bertahan.
Tapi sayangnya, politik modern kadang kehilangan jiwanya.
Ia menjelma seperti panggung besar, di mana kata-kata indah diucapkan tanpa rasa, dan janji-janji ditebar tanpa niat.
Padahal politik seharusnya bukan tentang kursi, tapi tentang kursus — kursus kemanusiaan, tentang bagaimana menjadi manusia yang lebih peka terhadap sesama.
Kita terlalu sibuk membela warna, sampai lupa membela nurani.
Terlalu sibuk menunjuk siapa lawan, sampai tak sempat menggenggam tangan kawan.
Padahal bangsa ini tidak dibangun oleh yang paling lantang, tapi oleh yang paling tenang.
Mereka yang diam-diam bekerja, bukan yang ribut di layar kaca.
Mungkin sudah saatnya kita mengembalikan politik kepada ruang yang lebih sederhana — ruang manusia.
Ruang di mana kejujuran lebih penting daripada pencitraan,
dan empati lebih utama daripada elektabilitas.
Sebab ketika politik kehilangan manusia, maka yang tersisa hanyalah ambisi tanpa arah.
Dan ketika ambisi itu menelan nurani, maka sesungguhnya yang hancur bukan hanya bangsa,
tapi hati kita sendiri.

0 Komentar